Perang Kerinci Tahun 1901 – 1903

Belanda berupaya mencari jalan ke Kerinci. Mula-mula pada tahun 1900 dari Muko-muko dikirim sepasukan Belanda mengadakan patroli di Bukit Setinjau Laut. Di puncak Gunung Raya Belanda mendirikan sebuah pesangrahan dan memasang satu tanda sebagai peringatan kedatangan mereka. Setelah diketahui adanya Belanda yang akan menyerang Kerinci, maka rakyat Kerinci menjadi gempar dan marah, karena orang Belanda yang datang itu di anggap kafir, Penduduk Kerinci 100% penganut Islam, tentu kedatangan Belanda tidak disukai.

Pertempuran pertama di Renah Manjuto berkecamuk antara hulubalang Kerinci dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan Depati Parbo. Korban dipihak Belanda banyak sekali hingga mereka gagal memasuki kerinci. Ketika itu pada tahun 1901 Perang Kerinci melawan penjajahan Belanda dimulai. Pada bulan Oktober 1901, 120 orang pasukan belanda berada di Indrapura bersiap menyerang Kerinci. Pada bulan Maret 1902, 500 orang pasukan Belanda di bawah Komandan Bolmar mendarat di Muaro Sakai, Tuanku Regen sebagai penunjuk jalan masuk Kerinci. Belanda menyerang dari tiga jurusan:

1. dari Renah Manjuto;
2. dari Koto Limau Sering;
3. dari Temiai.

Perang hebat terjadi di tiga tempat tersebut. Setelah koto Limau Sering dikuasai, pasukan Belanda turun memasuki ke lembah Kerinci. Dalam perang di Pulau Tengah yang di pimpin oleh seorang ulama terkenal masa itu yakni Haji Ismail dan wakilnya Haji Husin, telah bergabung pula para hulubalang dari dusun-dusun lainnya di Kerinci. Itulah sebabnya dalam sejarah perang Kerinci, pertempuran didusun ini merupakan pertempuran yang tersengit dan terlama (lebih kurang 3 bulan). Pulau Tengah diserang oleh Belanda sejak tanggal 27 Maret 1902 dari 3 jurusan, yaitu:

1. dari jurusan Timur; Sanggaran Agung – Jujun;
2. dari jurusan Utara; Batang Merao – Danau Kerinci;
3. dari jurusan Barat; Semerap –Lempur Danau.

Serangan terakhir untuk Pulau Tengah dilakukan Belanda pada tanggal 9-10 Agustus 1903 dengan membakar Dusun Baru, perlawanan rakyat dapat mereka selesaikan. Setelah Pulau Tengah jatuh ketangan belanda tanggal 10 Agustus 1903, yang mana pada hakekatnya perang Kerinci telah selesai, namun perlawanan kecil masih terjadi di sana-sini. Terakhir pasukan Belanda menjatuhkan serangan ke Lolo, markas panglima Perang Kerinci Depati Parbo. Pertempuran selama 5 hari di sini, dan akhirnya Belanda dapat membujuk Depati Parbo mengadakan perundingan damai. Dalam perundingan inilah Depati Parbo di tangkap dan di buang ke Ternate, Setelah Kerinci aman pada tahun 1927,atas permohonan kepala-kepala Mendapo di Kerinci kepada Pemerintah Belanda, Depati Parbo dibebaskan dan kembali ke Kerinci.

F. Kerinci Setelah Perang Depati Parbo

Setelah perang Kerinci selesai, terbentuklah system pemerintahan Kolonial Belanda. Tahun 1916 Onder Afdelling Kerinci dibagi 3 Onder Distrik yaitu:

1. Onder Distrik Kerinci Hulu dengan ibu kota berkedudukan di Semurup.
2. Onder Distrik Kerinci Tengah dengan ibu kota berkedudukan di Sungai Penuh.
3. Ondre Distrik Kerinci Hilir berkedudukan di Sanggaran Agung.

Pada tahun1922 Kerinci menjadi Afdelling Kerinci Painan dalam Kepresidenan Sumatra Barat, Belanda menyadari bahwa kekuasaan tokoh-tokoh adat di dusun-dusun dibutuhkan. Tokoh adat ini digunakan oleh Belanda untuk memperkuat penjajahan di Kerinci. Belanda membentuk pemerintahan kemendapoan. Kemendapoan langsung di bawah Onder Distrik yang tiga tadi. Dibawah Kemendapoan terdapat pemerintahan dusun-dusun atau Kepala Dusun dan dibawahnya ada Ninik Mamak. Pemerintahan Kemendapoan tetap berjalan sampai dikeluarkannya UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, dengan keluarnya UU ini berakhirlah pemerintahan Kemendapoan di Kerinci.

G. Organisasi Yang Ada di Kabupaten Kerinci

Di Kerinci sejak penjajahan Belanda dan Jepang, ada dua organisasi besar yang banyak pengikutnya, yaitu:

1) Organisasi Muhammadiyah / Aisyiah dan organisasi kepanduannya Hizbulwatan.
2) Organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI).
Organisasi Muhammadiyah Aisyiah masuk ke Kerinci tahun1938 dibawa oleh Buya Zainal Abidin Syuib yang berasal dari daerah Sumatera Barat. Sebagian besar penduduk Kerinci adalah menjadi anggota Muhammadiyah / Asyiah dan yang lainnya adalah menjadi anggota Organisasi Tarbiyatul Islamiyah (PERTI). Kedua organisasi ini sejak penjajahan Belanda, terlebih-lebih pada zaman Kemerdekaan RI menjadi pelopor kemajuan Umat Islam di Kerinci. Setelah berjalannya Pemerintahan RI (sesudah pemulihan kedaulatan) banyak sekali para ulama dan pemimpin-pemimpin rakyat menjadi anggota pemerintahan dan anggota DPRD Kabupaten Kerinci.

H. Kedatangan Jepang

Pada awal bulan Maret 1942 Jepang menyerbu ke Indonesia. Setelah Jepang memasuki daerah Sumatra Barat, maka pemuda A. Thalib pulang ke daerah kelahirannya yaitu Kerinci sewaktu Jepang membentuk “Pemuda Nippon Raya” yang berada dibawah pimpinan Khatib Sulaiman untuk daerah Sumatra barat, maka A.Thalib juga berusaha untuk membentuk ”Pemuda Nippon raya” untuk daerah Kerinci.

I. Sikap Rakyat Terhadap Jepang

Setelah Jepang menduduki Kerinci, Pemerintahan Militer Angkatan Darat dilaksanakan di Kerinci. Pemerintahan di Kerinci dikepalai oleh seorang Kepala Pemerintan yang disebut Busutzo. Pusat Pemerintahan pada masa itu dirumah bekas Konteler Belanda, sedangkan pasukan Jepang bermarkas dilokasi Kodim 0417 Kerinci sekarang. Keadaan sosial ekonomi rakyat Kerinci mulai dikuasai, termasuk pembatasan hak terhadap menjalankan syariat Islam serta penindasan terhadap ekonomi rakyat. Rasa takut yang sangat terhadap Kempetai Jepang, terkenal dengan sebutan MP Jepang melumpuhkan semangat dan mentalitas rakyat Kerinci.

Dibawah pemerintahan Miliater Jepang keadaan pendidikan di Kerinci hanya bertujuan untuk mendidik pemuda kader Jepang.dibawah pemerintahan Militer yang keras rakyat Kerinci dibawa Jepang kepada satu tujuan, yaitu untuk memenangkan perangnya melawan pasukan sekutu. Dibawah penindasan Pemerintahan Militer Jepang, rakyat Kerinci sangat menderita dan perekonomiannya hancur luluh. Padi rakyat diambil Jepang ditengah sawah atau dipaksa dikeluarkan dari lumbung untuk makanan serdadu Jepang. Dengan adanya perampasan itu maka rakyat Kerinci kekurangan beras.

Penjelasan dan berita bahwa Indonesia akan merdeka didapat dari pasukan Jepang yang pulang ke Kerinci. Mendengar hal itu pada pertengahan tahun 1945 golongan ulama, adat, cerdik pandai di Kerinci mulai giat melaksanakan persiapan mencari siasat untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang.

KERINCI MASA PROKALAMASI DAN PENYERAHAN KEDAULATAN

Proklamasi kemerdekaan RI di ketahui di kerinci tanggal 23 Agustus 1945, setelah utusan dari Padang menemui H. Muchtaruddin menyerahkan salinan teks Proklamasi. Tanggal 24 Agustus 1945 (jum’at pagi) rapat diadakan di kediaman A. Thalib Tyui (di rumah Nek Siin). Pada hari jum’at tanggal 24 Agustus 1945 bendera merah putih untuk pertama kalinya di kibarkan di puncak Masjid Raya Sungai Penuh oleh A. Thalib mantan Tyui (Letnan satu) Gyu-Gun. Sabtu tanggal 25 Agustus 1945 di adakan pengibaran bendera merah putih secara resmi dilapangan Sungai Bungkal (sekarang kantor DPRD Kerinci) dan di belakang asrama ex Jepang (sekarang kantor kodim 0417 Kerinci) Komite Nasional Indonesia (KNI) wilayah kerinci dibentuk pada pertengahan bulan September 1945 dengan ketuanya H. Adnan Thalib, berdasarkan keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan tanggal 22 Agustus 1945. Pada akhir bulan Desember 1945 A. Adnan Thalib diangkat oleh Presiden Sumatra Barat menjadi Demang (Wedana), maka ketua KNI di jabat oleh wakil ketua H. muchtaruddin.

Setelah keluarnya maklumat Wakil Presiden RI No. X tanggal 16-10-1945, realisasi maklumat Pemerintah tanggal 3-11-1945, berdirilah partai politik di Kerinci. Pada penghujung tahun1945, terbentuklah Laskar Rakyat di daerah Kerinci. Sementara itu dengan makin gawatnya situasi akibat tindakan Belanda yang bertentangan dengan persetujuan Lingkarjati, maka pemerintah Indonesia mengambil kebijakan antara lain mempersatukan semua pejuang bersenjata dibawah ini satu komando. Dengan penetapan Presiden RI tanggal 3 Juni 1947 seluruh pejuang bersenjata harus berada dalam satu wadah dan TRI di rubah menjadi TNI ( Tentara Nasional Indonesia), semua kelaskaran di bubarkan bergabung dengan TNI.

Pada tanggal 21 Agustus 1945 bala tentara Jepang Batalion Akiama Syose yang pada mulanya berkedudukan di Bukit Putus Tapan secara mendadak pindah ke Kerinci ( Sungai Penuh) dan sebagian pasukan ini di tetapkan di daerah Kayu Aro. Pada tanggal 23 Agustus 1945 A. Thalib menemui Akiyama Syose, kKomandan Pasukan Jepang itu, untuk berunding mengenai penyerahan persenjataan Jepang pada pemerintan RI. Tetapi amat di saying kan perundingan itu tidak berhasil dan permintaan A. Thalib di tolak oleh Nakano Tyui.

September 1945 terjadi duel senjata antara pejuang dengan tentara Jepang, pertempuran ini terjadi selama dua jam 30 menit dari pukul 14.30 sampai 16.00 WSU yang mengakiabatkan 2 orang gugur dan 2 orang luka parah. Lusanya pada bulan September 1945 tersebut, dilakukanlah penyerbuan ke markas Jepang di Komandoi oleh A. Thalib tepat pada jam 22.00 malam. Mayat-mayat tentara Jepang yang tewas ± 20 orang , kemudian mayat-mayat tersebut di kremasi (di bakar) di daerah Sako Duo (Kyu Aro) di daerah Muara Labu. Pada kwartal pertama tahun 1946 keluar surat keputusan presiden Sumatra Barat tentang pengangkatan H. Adnan Thalib menjadi Demang Kerinci oleh karena itu untuk mengisi jabatan ketua komite Nasional Indonesia (KNI) di daerah kerinci yang lowong telah di pilih H. A. Rahman Dayah sebagai ketua KNI di daerah Kerinci.

Pada tanggal 1 Juni 1946 Komandan Batalion III Kerinci Mayor A. Thalib di promosikan menjadi Komandan Resimen II divisi IX di Sawah Lunto dengan pangkat Letnan Kolonel. Pada tanggal 28 Agustus 1946 Resimen II dijabat oleh Letnan Kolonel A. Thalib menggantikan Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim.

Diakhir tahun 1946, Kpolisian Kerinci berubah menjadi Polisi Kabupaten Kerinci – Painan dengan pimpinannya Komisaris Klas II M. Nazir sedangkan para perwiranya antara lain adalah Inspektur II Memed dan Inspektur II Mawin . 18 desember 1947 sesuai dengan petunjuk dari Residen Sumatra Barat, maka di Kewedanan Kerinci dibentuklah Markas Pertahanan Rakyat Kewedanan Kerinci atau di singkat (MPRK), dengan komandannya langsung Kapten Marjisan Yunus, setelah tahun 1948 baru diserah terimakan dengan Letda Muradi.

Saat menjelang penyerahan kedaulatan oleh Belanda di Kerinci, para bekas Angkatan Perang dan Gerilya yang tersebar seluruh pelosok Kerinci, membentuk satu organisasi yang bernama Persatuan Ex Angkatan Perang RI (PAPRI). Peristiwa penyerahan Belanda di Sungai Penuh ialah dalam rangka melaksanakan perintah Panglima Divisi IX Brigade Banteng TNI Sumatra Tengah, yang menginstruksikan kepada Letkol A. Thalib berangkat keibukota Kabupaten PSK. Untuk menerima penyerahan wilayah Kerinci dari tangan Belanda ketangan Kerinci.

Perjuangan rakyat Kerinci mempertahankan kemerdekaan RI, telah menjelmakan Bumi Sakti Alam Kerinci menjadi sebuah kabupaten. Perjuangan yang dilakukan oleh rakyat Kerinci selama revolusi fisik, memiliki berbagai corak perjuangan yang heroik. Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag telah melenyapkan impian Belanda untuk menjajah kembali Indonesia, dan Bumi Alam Kerinci kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi sebagai daerah merdeka dibawah RI. Demikianlah sejarah perjuangan rakyat Kerinci mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Sumber : www.kerincikab.go.id

Daun Bunga Lily, Rumah Terapung Masa Depan

Apa ini? Kok kaya UFO yang mendarat di pantai ya?

 

Arsitek dari Belgia, Vincent Callebaut, mengajukan terobossan baru dalam menghadapi masalah perubahan iklim dan kepadatan, solusinya dinamai: Daun Bunga Lili.

Daun Bunga Lili ini digambarkan sebagai: prototipe kota amfibi yang mampu menghidupi diri sendiri, dengan masing2 daun mampu menampung 50.000 orang.

Di tengah Daun ini ada sebuah danau yang menampung dan menjernihkan air hujan. Kita terapung ini tidak membutuhkan jalan dan akan mengapung dan “terhanyut” ke seluruh dunia akibat pergerakan arus laut.

 

Desain dari Daun ini di memuat 3 marina dan 3 gunung yang dikhusukan bagi bisnis dan hiburan. Kota ini unik, karena kota ini merupakan kota amfibi, setengah kota air, setengah lagi kota darat.

 

Kota ini mendapat sumber daya dari matahari, angin dan arus laut, yang akan memproduksi lebih banyak energi daripada energi yang dikonsumsinya, dan akan menjadi kota yang ber-“emisi nol” karena semua karbon dan limbah akan di daur ulang.

Harapan yang ada adalah pada tahun 2100, akan ada 250 juta orang yang melarikan diri dari perubahan cuaca, yang disebut “Climactic refugee”, karena air laut akan menghancurkan kota2 seperti New York, Shanghai dan Bombai.

Vincent percaya, bahwa produknya ini adalah solusi jangka panjang untuk menghadapi naiknya air laut, dan bukannya memperkuat garis pantai, karena solusi garis pantai ini hanyalah solusi jangka pendek

 

Desain dari Daun ini diinspirasikan oleh daun Amazonia Victoria Regia yang memiliki tulang daun yang sangat rapat.

Tujuan Vincent adalah untuk menciptakan “hubungan harmonis antara manusia dan alam”. 

Mayor Makinuddin HS dan Peristiwa Situjuah

Jika dapat diibaratkan sebuah film kolosal, Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949 yang memiliki kaitan dengan keberadaan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), memiliki sederet pemeran utama, pemeran pendukung, pemeran pilihan, penyusun skenario, serta sutradara. Jika tokoh utama diperankan Khatib Sulaiman, Arisun Sutan Alamsyah, Dahlan Ibrahim, Kamaluddin Tambiluak, Syofyan Ibrahim, Munir Latief, dan Kapten Zainuddin Tembak. Untuk aksi pemeran pilihan tentu dimainkan oleh tokoh-tokoh sekelas Mayor A. Thalib, Kapten Syafei, Sidi Abu Bakar, Kapten Thantowi, dan sebagiannya.

Sedangkan untuk pemeran pembantu, diperagakan dengan semangat tinggi oleh ratusan anggota BPNK, opsir, rakyat dan tentu saja serdadu dari negeri Kincir Angin Belanda, yang menggempur Lurah Kincia.

Kalau sudah begitu, siapakah yang layak disebut sebagai penulis skenario serta sutradara di balik peristiwa Situjuah itu? Jawabannya, kemungkinan besar adalah Gubernur Militer Sumatra Tengah, Mr. Sutan Muhammad Rasyid, dan Wedana Militer Payakumbuh Selatan Mayor Makinuddin HS.

Karena Sutan Muhammad Rasyid adalah tokoh yang meminta diadakan rapat penting di Situjuah. Rapat tersebut bertujuan untuk mencari solusi upaya perjuangan bangsa dalam mempertahankan Pemerintahan Darurat Republik Indinesia (PDRI), dari gempuran Belanda.

“Setelah ‘skenario’ ditulis Sutan Muhammad Rasyid, tentu saja dengan sepengetahuan sang “produser” bernama Mr. Syafruddin Prawiranegara (Presiden PDRI). Maka, ditunjuklah seorang sutradara untuk mengatur. Sutradara itu bernama Mayor Makinuddin HS. Dialah yang mempersiapkan segala sesuatu untuk kebutuhan rapat di Situjuah,” ujar Fajar Rillah Vesky, wartawan yang tengah menggarap Buku “Tambiluak: Secuil Tentang PDRI dan Peristiwa Situjuah”.

Mayor Makinuddin pulalah yang meyakinkan Dahlan Ibrahim, kalau rapat di Lurah Kincia aman, karena di sekeliling ada banyak pembantu sekuriti yang menjadi pengawas. Walau kemudian, mujur tak dapat diraih, malang sekejap mata, Lurah Kincia justru diserang serdadu Belanda dari Padang Panjang dan Bukittingi.

Perjuangan Makinuddin
Ketika pulang kampung, setelah merantau ke Singapura, Makinuddin kembali ke tanah air. Dia menjadi guru agama di Lubuak Jambi, dalam wilayah Riau. Tak lama kemudian, dia meninggalkan bumi Lancang Kuning dengan menjadi guru agama di Situjuah Batua (1942).

Makinuddin melihat perjuangan pergerakan bangsa waktu itu sedang hangat-hangatnya. Sebagai seorang berpendidikan, cinta bangsa, keras, suka tantangan dan berani, hatinya kecilnya ikut terpanggil untuk bergabung dengan pergerakan di Payakumbuh/Limapuluh Kota.

Panggilan hati itu kemudian dibuktikan Makinuddin dengan masuk menjadi anggota Gyu Gun di Payakumbuh. Selama di Gyu Gun bentukan Jepang ini, dia mulai ditempa jiwa mileter. Rasa sebangsa dan setanah air, makin bergelora di jiwanya. Makinudin pun makin aktif di berbagai kegiatan perjuangan.

Ketika Indonesia telah Merdeka, Makinuddin dipercaya sebagai Komandan Batalyon III/Singa Harau. Dialah Komandan Batalyon pertama di wilayah Payakumbuh/Limapuluh Kota setelah NKRI ada dan menikmati alam merdeka.

Dua tahun Indonesia merdeka atau sekitar tahun 1947, Makinuddin mengalami perpindahan tugas. Dia dipercaya memimpin Batalyon Istimewa Galanggang di Payakumbuh. Namun jabatan tersebut tidak bertahan lama di tangannya, karena ibukota RI di Jogyakarta pada tahun 1948 mulai digempur Agresi Militer II Belanda. Gempuran serupa juga dirasakan di Bukittingi dan daerah lainnya dalam wilayah Sumatra Tengah.

Karena agresi Belanda semakin mengancam, para pejabat militer dan pemerintah RI ambil ancang-ancang. Mayor Makinuddin yang sedang menjabat sebagai Danyon Istimewa Galanggang, ditujujuk menjadi Komandemen Kepala Perlengkapan Sumatra Tengah pada tahun 1948-1949.

Semasa bertugas di sini, Makinuddin pernah dua kali pindah kantor. Pertama, di gedung Gudang Garam kampung Cina Payakumbuh. Kedua, ke lantai dua Toko Tokra Jalan Kampung Cina. Diantara anak buahnya waktu itu adalah Syamsul Bahri, Junahar, Amiruddin KR dan Kamaluddin Tambiluak.

Saat Divisi III mengalami perubahan menjadi Divisi IX Banteng, jabatan Kepala P & P diserahterimakan dari Mayor Makinuddin HS kepada Kapten Chatib Salim. Sedangkan Makinuddin diangkat menjadi Wedana Militer Payakumbuh Selatan.

Ketika menjadi Wedana Militer inilah, Makinuddin dipercaya untuk mempersiapkan rapat penting pejuang pemerintahan dan militer Sumatra Tengah di Lurah Kincia, Situjuah Batua, 15 Januari 1949. Namun apalah daya, tidak lama setelah rapat tersebut ditutup sekiatr pukul 04.30 dini hari, Belanda datang menyerang. Akibatnya, para pahlawan berguguran satu persatu. Mereka yang meninggal pada hari itu diperkirakan mencapai 69 orang. Namun masih bersyukur, Makinuddin HS dapat selamat.

Namun setidaknya, usaha dan kerja keras Makinuddin HS, layak untuk dihargai, diapresiasi, sekaligus dijadikan keteladanan bagi generasi muda sekarang dan masa mendatang. Wedana militer itu telah memperlihatkan kalau seorang ‘anak kampung’ dari lereng Gunung Sago juga mampu memberi sumbangsih besar untuk negeri bernama Indonesia!

Tiap tahun Peristiwa Situjuah diperingati. Mayor Makinuddin HS, memiliki peranan penting dalam peristiwa tersebut. Makinuddin HS wafat di Jakarta tahun 1974 dan dimakamkan TPU Karet. ( Jeffrey icardo Magno )

Sumber : www.hariansinggalang.co.id