Membangun Harga Diri Anak

Dengan muka masam, Ibu itu membersihkan mulut anaknya dengan sangat kasar. “Ceuk urang ge entong milu, jadi weh mabok. Era weh ku batur,” kata Ibu tersebut dengan ketusnya. Artinya kira-kira, “Kata saya juga jangan ikut, jadi aja mabuk. Kan malu sama orang lain”.

Peristiwa tersebut terjadi saat saya naik sebuah angkot. Persis di depan saya ada seorang anak laki-laki yang ditaksir berusia enam tahunan. Mungkin karena tidak tahan ia (maaf) muntah, dan muntahannya itu mengenai baju beberapa penumpang lain. Saya sangat kasihan sekali melihat anak itu, sudah pusing, dijauhi, malu, dimarahi pula.

Di tempat lain saat berjalan-jalan di sebuah toko buku, terlihat seorang anak yang sangat aktif. Sambil mengoceh, ia “mengacak-acak” buku yang ada hadapannya. Terlihat ibunya dengan sabar berusaha menghentikan aktivitas anaknya tersebut. “Sayang jangan merusak buku-buku itu nanti orang marah, ya,” kata ibu muda itu sambil memegang tangan sang anak. “Eggak mau, Ade pengen buku ini,” jawab si anak sambil memegang sebuah buku bergambar.

Dengan santun Ibu itu berkata, “Kalau begitu kita ambil tempat bukunya yuk, agar Ade bisa memasukkan bukunya ke keranjang!”. “Ade mau,” jawab si anak dengan gembira. Ia pun segera mengikuti langkah ibunya mengambil sebuah tas belanja. Kisah di atas memperlihatkan dua sikap berbeda yang diambil orang tua dalam menyikapi prilaku anak-anaknya.

Sikap yang diambil ibu pertama benar-benar tidak tepat. Alih-alih mendidik, ia telah menjatuhkan mental dan harga diri anak di depan umum. Bagaimana pun alasannya kita tidak bisa menyalahkan anak yang mabuk di kendaraan karena hal itu ada di luar keinginannya.
Sedangkan ibu yang kedua, berhasil mengendalikan “kekesalannya” pada sang anak dengan memberikan bimbingan yang tepat sehingga aspek pembelajaran bisa berjalan lancar.

Di balik semua itu, memarahi anak, terlebih lebih menjatuhkan mentalnya, bila berulang kali dilakukan orang tua, secara tidak langsung akan membentuk dan menanamkan mental yang buruk bagi anak. Anak yang dibesarkan dalam cemoohan akan cenderung memaknai dirinya seperti apa yang dikatakan lingkungan kepada dirinya.

Sebagai contoh bila lingkungan sering mengatakan ia bodoh, maka anak akan mengidentifikasikan dirinya sebagai orang bodoh yang tidak layak menang. Hal ini akhirnya akan mempengaruhi mental dia saat menghadapi kehidupan pada masa yang akan datang. Harapan untuk sukses berasal dari pengalaman yang dipelajari, terutama dari orang tua.

Bila orang tua memberi kepercayaan pada anak sehingga memungkinkan anak belajar meningkatkan kemampuan dirinya, setiap inisiatifnya dihargai, dan dia sebagai anak tidak banyak dikecam oleh orang tua dan lingkungan terdekatnya yang berpengaruh, ia akan belajar menemukan harga diri (self-esteem). Kepercayaan orang tua mempengaruhi pertumbuhan mental dan kepribadian anak. Banyak keunggulan-keunggulan intelektual maupun sosial yang sangat dipengaruhi oleh kepercayaan yang diterima anak.

Berkat kepercayaan orang tua kepadanya, anak memenuhi kebutuhannya yang paling mendasar pada saat ia masih kecil, yakni basic trust (kepercayaan dasar). Kepercayaan dasar yang kuat akan membuat anak merasa aman dan nyaman, sehingga ia berani mencoba, belajar menghargai dirinya, sehingga jika dikelola dengan baik akan membuahkan kekuatan self-reward–keadaan dimana anak tidak perlu mendapat dukungan dari luar sudah menemukan kebahagiaan manakala ia menuai keberhasilan.

Kepercayaan dasar juga membuat anak merasa dirinya berharga dan merasa terlindungi. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Albert Bandura dalam bukunya Health Psychology Reader (2002), sebagaimana dikutip M. Fauzil Adhim bahwa kompetensi seseorang tidak hanya ditentukan oleh keterampilan yang ia miliki, tapi juga oleh kepercayaan terhadap efikasi diri, yakni harapan atau keyakinan untuk sukses.

Maka benarlah apa yang dikatakan Rasulullah pada seorang ibu yang berusaha merenggut anaknya dari pangkuan beliau, saat bayi itu pipis. “Pakaian yang kotor ini dapat dengan mudah dibersihkan oleh air. Tetapi apakah yang sanggup menghilangkan kekeruhan jiwa anak ini akibat renggutanmu yang kasar?”

www.mualaf.com

Ujian Kesabaran dari Seorang Anak

Seorang ayah yang baru saja pulang kantor dengan menjadi “ROKER” alias rombongan kereta (pulang pergi ke kantor naik kereta) terperanjat kaget melihat mobil yang baru sebulan dibelinya dan lebih sering diparkir di garasi depan rumah “baret” kira-kira 10 garis di sepanjang badan mobil sisi sebelah kiri dan kanan. 

Emosinya tak terkendali, pikirannya tak dapat diatur lagi, sontak saja dia tendang pintu masuk dan berteriak panggil bibi yang tinggal di rumah bersama 2 orang anaknya yang masih kecil.  ” Bi….Siapa yang merusak mobil itu?, Siapa yang berani ngebaretin mobil baru ini?, katanya dengan nada tinggi”. 

Bibi yang sudah 10 tahun bersama keluarga itu terlihat bengong dan penuh tanda-tanya, hal apa yang dimaksud oleh majikannya?, dan dengan polosnya dia juga tanya balik, maksudnya yang mana tuan?, mobil yang mana?.  Kemarahan sang majikan terus bertambah sambil menggeret bibi ke luar dan menunjukkan baretan yang dia maksud.  Dan ketika itu pula, dua anak laki-laki yang masih kecil dan lucu menghampiri ayahnya sambil bersemangat mengatakan: ” Ayah…Ayah, tadi kita berdua lagi main garpu dan kita bikin garis-garis seperti mewarnai di mobil Ayah yang baru, boleh ya?”, kata dua anaknya dengan polos dan lugunya.

Wah…..darah hitam emosi sang Ayah terus terpancing mengalir.  Tak sadar ia menarik kedua anaknya ke dalam rumah, dipukulnya pantat sang anak berkali-kali, kemudian dihantamnya tangan kedua anak yang telah berbuat dengan keras lebih dari dua puluh kali, anaknya menjerit-jerit kesakitan dan minta-minta ampun memberi sinyal tidak akan mengulangnya lagi.  Tidak sampai disitu, anak yang sudah tak berdaya dibawanya ke kamar mandi dan diguyurnya dengan sebanyak-banyak air yang ada di bak mandi sampai akhirnya anak terduduk lesu menggigil kedinginan dan ia tinggalkan begitu saja. 

Saking emosinya, dia pun pergi berlalu meninggalkan rumah entah kemana.  Sore harinya, ketika ia pulang didapatinya rumah kosong, istrinya yang seharusnya sudah di rumah pun tak terlihat, berikut kedua anak dan pembantunya.  Dia tak sadar, ternyata sudah beberapa kali miss call di HP-nya serta satu sms dari istrinya yang mengatakan bahwa mereka tengah berada di rumah sakit menemani kedua anak mereka yang tengah panas sangat tinggi dan terpaksa di rawat intensive.

Dalam suasana emosi yang masih tersisa, sang ayah malah terduduk lunglai dan kaku, sambil memegang kedua tangannya dia berbisik: “Ya Tuhan, apa yang sedang terjadi?, kenapa aku bisa berbuat demikian terhadap anak kandungku?.

Haruskah harta dan kemewahan yang kita punya dapat mengalahkan dan menyingkirkan kasih-sayang kita kepada anak?.  Untuk siapakah semua pencapaian yang kita perjuangkan berhari-hari, bermalam dan bertahun-tahun itu?.  Apakah kebanggaan dan kasih sayang kita kepada mobil baru dapat menghalalkan amarah yang tak sepatutnya kepada anak?.

Mari kita belajar untuk lebih sabar lagi dari anak-anak kita sendiri.